BELAJAR
DI ALAM LEBIH MENINGKATKAN GAIRAH BELAJAR IPA SISWA
Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh beberapa lembaga yang berkompetensi untuk meneliti dunia pendidikan,
diperoleh suatu hasil seperti (1) The third International Mathematics and
science study Repeat (1999) bahwa kemampuan siswa di bidang matematika dan IPA
menempati urutan ke 34 dan 32 dari 38 negara. (2) menurut Human Developmen
Index tahun 2002 dan 2003, mutu pendidikan kita berada pada peringkat 110 dari
173 negara dan 112 dari 175 negara yang diteliti.
Kesimpulannya
bahwa mutu pendidikan di negara kita tergolong rendah, bahkan lebih rendah dari
negara Vietnam. Dengan berbagai hasil tersebut tentu kita bertanya–tanya ada
apa dengan sistem pendidikan kita? Apanya yang salah dengan pendidikan kita?
Apa yang harus kita lakukan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan negara
kita. Berbagai pertanyaan akan muncul dari benak kita selaku orang yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan. Hal yang demikian juga muncul dalam diri
penulis. Hal tersebut tentunya menggugah kita semua selaku insan yang bersentuhan
langsung dengan pendidikan untuk lebih berdaya upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan lebih khusus lagi mutu pembelajaran.
Pemerintah yang dalam hal ini paling bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
Sistem Pendidikan Nasional telah melakukan berbagai upaya sebagai langkah in
servece training melakukan berbagai penataran dan Diklat, untuk meningkatkan
mutu dan kompetensi guru. Hal tersebut tentu karena adanya suatu asumsi bahwa
“Terdapat korelasi yang cukup signifikan antara kompetensi guru dengan
kemampuan guru tersebut dalam merancang strategi pembelajaran, sehingga pada
akhirnya akan dapat pula meningkatkan prestasi belajar siswa“. Guru yang
bermutu dan guru yang memiliki kompetensi paedagogis yang mantap akan dapat
menciptakan suasana pembelajaran yang lebih menarik, menantang, memberikan
kesan yang bermakna bagi dan menyenangkan. Lalu langkah kiat–kiat apa yang
seharusnya dilakukan oleh guru untuk menciptakan hal–hal yang diharapkan di
atas.
Katakanlah dalam pembelajaran IPA, agar pembelajaran IPA yang difasilitasi oleh
guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menarik, menantang, dan
bermakna bagi siswa, guru harus pandai–pandai merancang strategi pembelajaran,
memanfaatkan multi media, dan multi metode, multi aspek (logika, praktika,
estetika ).
Pembelajaran IPA yang saat ini berlangsung di lapangan umumnya verbalisme,
artinya guru cenderung untuk menjelaskan materi–materi IPA dan konsep–konsep
IPA dengan menggunakan metode ceramah yang notabene merupakan metode termudah
dan termurah. Tetapi dengan cara konvensional semacam ini, apakah makna dari
belajar atau learning itu sendiri tersentuh? Dan apakah dengan cara–cara
belajar semacam ini susuai dengan eksistensi psikologis siswa Sekolah Dasar itu
sendiri. Cara–cara belajar IPA yang semacam ini tentu jauh dari kahikat IPA itu
sendiri. Nada sinis yang sering dijadikan kelakar bahwa cara mengajar seperti
itu dikatakan “ Sastra IPA”. Artinya tidak ada bedanya antara pembelajaran
bahasa Indonesia dengan IPA.
Untuk menciptakan suasana yang berbeda dengan hal tersebut tentu dibutuhkan
kompetensi profesional yang tinggi, dan pemahaman terhadap siswa itu sendiri.
Piaget, mengemukan bahwa tahapan berpikir siswa sekolah dasar berada pada
tahapan konkrit operasional, artinya dalam pembelajaran siswa hendaknya
dihadapkan pada hal–hal yang konkrit, atau hal-hal nyata yang ada disekitar
siswa dan dikenal oleh siswa.
Ada sesuatu yang salah dalam cara-cara pembelajaran IPA yang umumnya dilakukan
teman-teman guru kebanyakan. Hal yang salah itu yaitu sebelum siswa masuk dunia
sekolah siswa umumnya (1) lincah, (2) Selalu belajar apa yang diinginkannya
dengan gembira, (3) menggunakan segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar
yang menarik perhatiannya, (4) membangun sendiri pengetahuan dan pemahaman
lewat pengalaman nyata sehari–hari. Hal ini bertentangan dengan setelah anak
masuk ke dunia persekolahan, yaitu (1) anak dipaksa belajar dengan cara guru,
(2) pembelajaran berlangsung tegang, (3) suasana belajar kurang menarik dan
kurang bermakna.Cara–cara seperti ini yang secara konvensional terjadi di
lapangan.
Untuk menjawab masalah–masalah di atas diperlukan langkah-langkah inovatif,
yang menjadikan kita keluar dari suatu kebiasaan yang selama ini kita lakukan.
Guru hendaknya terus mengikuti teori-teori baru dalam dunia pendidikan,yang
menjadikannya memanfaatkan strategi belajar aktual dan kontektual. Sebagai
misal kalau guru sedang membahas tentang konsep ekosistem, komunitas, pupulasi,
tumbuhan (bagian–bagian tumbuhan), akan menjadikan hal lucu apabila hal
tersebut diajarkan di dalam kelas dengan metode ceramah. Pembelajaran IPA
semacam ini akan menciptakan pembelajaran IPA yang kering dari nilai–nilai IPA.
Tetapi akan tercipta hal yang sebaliknya jika siswa belajar tentang komunitas
sawah dan siswa benar-benar berada di sawah. Siswa belajar tentang komunitas
kolam, siswa melihat, mengamati, sendiri berbagai makluk hidup yang ada kolam
tersebut. Ketika siswa belajar tentang jenis-jenis tulang daun, bagian–bagian
bunga, siswa pergi memetik daun sendiri, memetik dan mengamati sendiri dan
menggambarkan sendiri bagian–bagian bunga. Selanjutnya sambil mencari tempat
yang teduh dibawah pohon-pohon yang rindang, siswa membahas hal-hal yang
ditugaskan oleh guru, bertanya tentang gagasannya yang berhubungan dengan alam
sekitar, dan mempertanyakan gagasan orang lain tentang alam sekitar. Cara-cara
belajar semacam ini dan cara kerja semacam ini telah menciptakan
saintis–saintis muda. Tentu hal ini akan sangat berbeda dengan suasana
pembelajaran tentang konsep–konsep tersebut hanya bermodalkan kapur dan papan
tulis, dan menerapkan cara belajar CBSH (cata buku sampai habis). Dan akan
tercipta hal yang sangat mengharukan apabila guru mengajarkan konsep IPA yang
sebenarnya materinya sangat kaya di lingkungan sekitar tetapi guru
mengajarkannya dengan cara berikut:
“Anak-anak coba kalian catat materi
tentang ekosistem, dari halaman… sampai halaman…, ingat kalian hafalkan materi
itu, karena minggu depan kita ulangan !”
Membawa siswa langsung ke alam sebenarnya merupakan model pembelajaran
kontekstual. Sebab dengan belajar secara langsung di alam siswa dapat (1)
membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan baru) dengan pengalaman
(pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai. (2) mereka
diajarkan bagaimana mereka mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut
dipergunakan di dunia nyata di luar kelas.
Membawa siswa untuk belajar langsung di alam, lebih mendekatkan makna dan
hakikat dari belajar (learning) itu sendiri. Belajar pada prinsipnya adalah
proses membangun makna, dan tercipta antara interaksi siswa dengan lingkungan.
Sedangkan perananan guru dalam rangka kegiatan pembelajaran berperan sebagai
fasilitator dan motifator.
Akhir datulisan ini hendaknya merupakan suatu yang perlu kita pikirkan dan kita
pertimbangkan barsama, yaitu: (1) Kalau disekitar kita tersedia lingkungan alam
yang sangat kaya dengan data dan sumber belajar mengapa tidak kita manfaatkan?
(2) Kalau siswa lebih mudah belajar hal-hal yang konkrit mengapa kita
mengajarkannya secara abstrak? (3) Kalau di lingkungan kita tersedia sumber
belajar yang murah, mengapa kita memilih yang mahal? (4) Kalau siswa belajar
langsung di alam lebih menggairahkan cara belajarnya mengapa tidak kita turuti
?
Marilah kita renungkan bersama hal-hal tersebut, semoga bermanfaat.
Marilah kita renungkan bersama hal-hal tersebut, semoga bermanfaat.
Adapted from: artikel pendidikan
The Star Casino Hotel & Spa Reviews & Prices | JTHub
BalasHapusStar 태백 출장마사지 Casino Hotel & Spa, Cotai 군포 출장마사지 - Updated 2021 Room Prices, Deals 광명 출장마사지 & Reviews. Book the The Star Casino Hotel & Spa & Save BIG on Your Next Stay! Rating: 충청북도 출장안마 4 · Review by JTHub 순천 출장샵